Bulan ini, saya dan suami melewati dua kejadian yang sangat penting dalam peran kami sebagai orang tua. Yang pertama adalah kelahiran anak kedua kami, Rayyan, dan yang kedua adalah Wahyu disunat.
Baca Juga: Selamat Datang Anakku, Rayyan!
Sebenarnya, sejak tahun lalu saat libur sekolah, kami sudah berencana untuk mengkhitan Wahyu namun karena anaknya masih takut plus saya juga masih belum siap mental menyaksikan Wahyu kesakitan saat disunat, jadilah rencana itu batal. Waktu terus berjalan dan pembicaraan tentang sunat ini gak pernah kami lakukan lagi.
Hingga beberapa bulan lalu, di daerah kami ada caleg yang berkampanye dan mengadakan sunatan massal. Metode yang digunakan pada sunatan massal ini adalah sunat laser. Seluruh anak laki-laki seusia Wahyu yang ada di Lakudo (tempat tinggal kami), khususnya teman main Wahyu mengikuti acara ini. Oleh panitia, Wahyu pun ditawari untuk ikutan acara sunatan massal ini.
Mama mertua menyambut baik ajakan itu. Beliau segera menelepon saya yang sedang berada di kantor untuk meminta izin apakah boleh Wahyu mengikuti acara sunatan massal yang sedang berlangsung? Saya langsung mengiyakan. Alasan saya mengiyakan karena metode yang dipakai adalah sunat laser. Dalam pikiran saya, Wahyu pasti gak akan sakit-sakit amat saat disunat dan proses penyembuhannya juga pasti bakalan cepat.
Namun jawaban berbeda datang dari papanya. Ia tak mengizinkan Wahyu ikut acara sunatan massal itu karena menurutnya sunat dengan metode laser tidaklah afdol. Ia mau Wahyu disunat pake metode manual aka konvensional seperti dirinya di masa lalu 😏🙄. Huwaaaa, ingin rasanya nangis mendengar alasan suami. Saat jaringan internet udah 4G, dia kok masih pengen kembali ke masa lalu, udah ada cara yang praktis dan modern, dia kok masih pengen pakai cara kuno dan menyakitkan? huhuhu 😥
Tak hanya saya yang kecewa atas jawaban suami, mertua dan Wahyu juga kecewa. Wahyu bahkan berulang-ulang berkata bahwa semua temannya sudah disunat, hanya tinggal dia seorang yang belum. Huhuhu saya jadi sedih deh saat mendengarnya mengatakan semua itu dengan wajah tertunduk 😪. Tapi ada sedikit rasa lega di hati saya melihat Wahyu sedih seperti itu karena itu berarti ia sudah mau disunat dan gak takut lagi seperti tahun sebelumnya.
Setelah kejadian itu, mertua mengambil sikap tegas bahwa Wahyu harus disunat saat libur lebaran tahun ini. Mendengar ketegasan mamanya, suami terdiam dan mengiyakan. Dan libur lebaran pun tiba. Hampir setiap hari mama mertua mengingatkan agar kami segera menyunat Wahyu, kebetulan libur lebaran bertepatan dengan libur sekolahnya jadi waktunya memang pas. Mertua semakin "cerewet" karena HPL saya semakin dekat. Mertua ingin Wahyu sudah disunat sebelum saya melahirkan.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya tanggal 16 Juni 2019 pagi dipilih sebagai waktu yang tepat untuk mengkhitan Wahyu. Metode yang kami pilih adalah metode manual, mengikuti keinginan papanya. Alhamdulillah, Wahyu gak keberatan saat kami menyampaikan ia akan disunat dengan cara manual. Kami memilih memanggil tukang sunatnya (Mantri dari puskesmas Lakudo) datang ke rumah untuk menyunat Wahyu.
Sehari sebelum disunat, Wahyu terlihat santai dan bermain seperti biasa. Namun pada malam harinya ia mulai terlihat stres, huhuhu. Mungkin ia mulai kepikiran tentang sunat yang akan dilakukan esok pagi. Malamnya pukul 21.00 WITA saya sudah mengajaknya tidur, namun sampai pukul 24.00 WITA ia belum tertidur juga, huhuhu fix anakku memang stress. Emosiku sempat tersulut saat tahu ia belum tidur padahal malam sudah larut banget (huhuhu maafkan mama yaa, Nak 🙏😘!). Ia baru tertidur menjelang pukul 01.00 dini hari.
Pukul 05.30 pagi ia bangun dan langsung mandi. Pak Mantri datang ke rumah pukul 06.00, setelah ngobrol-ngobrol sebentar dengan mertua, pukul 06.30 beliau mulai melakukan tindakan. Wahyu sangat tenang dan kooperatif saat disunat, ia gak nangis atau takut karena saat disunat ia bermain game. Alhamdulillah semua berjalan lancar, pukul 07.10 tindakan selesai dilakukan.
Ternyata sunat manual tidak seseram yang saya bayangkan. Hal-hal menakutkan yang saya pikirkan tidak terjadi. Darah yang keluar juga gak sebanyak yang saya hayalkan. Ahhh kenyataan memang kadang berjalan lebih baik dari hayalan kita. Drama justru baru ada saat pak Mantri sudah pulang. Drama yang terjadi pun tidak berhubungan dengan apa yang saya khawatirkan.
Drama diawali saat Wahyu memuntahkan obat yang diberikan padanya dan tak lama setelahnya ia mulai merasa sakit. Tangispun mewarnai pagi itu, belum lagi sikap manjanya yang tiba-tiba muncul, membuat orang rumah "kaget", hahaha 😅. Walhasil, seharian papanya gak keluar rumah karena harus memenuhi segala keinginan Wahyu.
Syukurlah sikap manja itu hanya ada di hari pertama, di hari-hari berikutnya ia sudah bisa mandiri. Naik turun ranjang sudah bisa dilakukannya sendiri, jalan dari kamar ke ruangan lain dalam rumah juga sudah ia lakukan sendiri hanya pipis ke kamar mandi saja yang ditemani.
Hari pun berlalu. 2 hari setelah disunat, perban lukanya dibuka dan bertepatan dengan itu, rasa mulas tanda melahirkan mulai saya rasakan. Ya, 2 hari setelah disunat, dengan berat hati saya dan suami harus meninggalkan Wahyu di rumah mertua karena saya memutuskan melahirkan anak kedua di tempat mama yang jaraknya kurang lebih 9 KM dari rumah mertua (rumah mama dan rumah mertua berada di kecamatan yang berbeda).
Kini, 12 hari berlalu dan lukanya sudah sembuh. Wahyu sudah bisa beraktivitas seperti biasanya namun sampai hari ini ia masih tinggal bersama mertua. 2 hari sekali papanya datang menjemputnya dan kemudian membawanya ke Lombe untuk bertemu saya dan adiknya.
Lega rasanya sudah melaksanakan salah satu kewajiban kami sebagai orang tua yaitu mengkhitan anak. Kini Wahyu gak perlu malu lagi memberikan jawaban saat ditanya apakah sudah sunat atau belum oleh guru ngaji atau teman-temannya.
Adakah yang juga punya pengalaman anaknya disunat? Yuk, bagi ceritanya di kolom komentar 😉
Hingga beberapa bulan lalu, di daerah kami ada caleg yang berkampanye dan mengadakan sunatan massal. Metode yang digunakan pada sunatan massal ini adalah sunat laser. Seluruh anak laki-laki seusia Wahyu yang ada di Lakudo (tempat tinggal kami), khususnya teman main Wahyu mengikuti acara ini. Oleh panitia, Wahyu pun ditawari untuk ikutan acara sunatan massal ini.
Mama mertua menyambut baik ajakan itu. Beliau segera menelepon saya yang sedang berada di kantor untuk meminta izin apakah boleh Wahyu mengikuti acara sunatan massal yang sedang berlangsung? Saya langsung mengiyakan. Alasan saya mengiyakan karena metode yang dipakai adalah sunat laser. Dalam pikiran saya, Wahyu pasti gak akan sakit-sakit amat saat disunat dan proses penyembuhannya juga pasti bakalan cepat.
Namun jawaban berbeda datang dari papanya. Ia tak mengizinkan Wahyu ikut acara sunatan massal itu karena menurutnya sunat dengan metode laser tidaklah afdol. Ia mau Wahyu disunat pake metode manual aka konvensional seperti dirinya di masa lalu 😏🙄. Huwaaaa, ingin rasanya nangis mendengar alasan suami. Saat jaringan internet udah 4G, dia kok masih pengen kembali ke masa lalu, udah ada cara yang praktis dan modern, dia kok masih pengen pakai cara kuno dan menyakitkan? huhuhu 😥
Tak hanya saya yang kecewa atas jawaban suami, mertua dan Wahyu juga kecewa. Wahyu bahkan berulang-ulang berkata bahwa semua temannya sudah disunat, hanya tinggal dia seorang yang belum. Huhuhu saya jadi sedih deh saat mendengarnya mengatakan semua itu dengan wajah tertunduk 😪. Tapi ada sedikit rasa lega di hati saya melihat Wahyu sedih seperti itu karena itu berarti ia sudah mau disunat dan gak takut lagi seperti tahun sebelumnya.
Setelah kejadian itu, mertua mengambil sikap tegas bahwa Wahyu harus disunat saat libur lebaran tahun ini. Mendengar ketegasan mamanya, suami terdiam dan mengiyakan. Dan libur lebaran pun tiba. Hampir setiap hari mama mertua mengingatkan agar kami segera menyunat Wahyu, kebetulan libur lebaran bertepatan dengan libur sekolahnya jadi waktunya memang pas. Mertua semakin "cerewet" karena HPL saya semakin dekat. Mertua ingin Wahyu sudah disunat sebelum saya melahirkan.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya tanggal 16 Juni 2019 pagi dipilih sebagai waktu yang tepat untuk mengkhitan Wahyu. Metode yang kami pilih adalah metode manual, mengikuti keinginan papanya. Alhamdulillah, Wahyu gak keberatan saat kami menyampaikan ia akan disunat dengan cara manual. Kami memilih memanggil tukang sunatnya (Mantri dari puskesmas Lakudo) datang ke rumah untuk menyunat Wahyu.
Sehari sebelum disunat, Wahyu terlihat santai dan bermain seperti biasa. Namun pada malam harinya ia mulai terlihat stres, huhuhu. Mungkin ia mulai kepikiran tentang sunat yang akan dilakukan esok pagi. Malamnya pukul 21.00 WITA saya sudah mengajaknya tidur, namun sampai pukul 24.00 WITA ia belum tertidur juga, huhuhu fix anakku memang stress. Emosiku sempat tersulut saat tahu ia belum tidur padahal malam sudah larut banget (huhuhu maafkan mama yaa, Nak 🙏😘!). Ia baru tertidur menjelang pukul 01.00 dini hari.
Pukul 05.30 pagi ia bangun dan langsung mandi. Pak Mantri datang ke rumah pukul 06.00, setelah ngobrol-ngobrol sebentar dengan mertua, pukul 06.30 beliau mulai melakukan tindakan. Wahyu sangat tenang dan kooperatif saat disunat, ia gak nangis atau takut karena saat disunat ia bermain game. Alhamdulillah semua berjalan lancar, pukul 07.10 tindakan selesai dilakukan.
Ternyata sunat manual tidak seseram yang saya bayangkan. Hal-hal menakutkan yang saya pikirkan tidak terjadi. Darah yang keluar juga gak sebanyak yang saya hayalkan. Ahhh kenyataan memang kadang berjalan lebih baik dari hayalan kita. Drama justru baru ada saat pak Mantri sudah pulang. Drama yang terjadi pun tidak berhubungan dengan apa yang saya khawatirkan.
Drama diawali saat Wahyu memuntahkan obat yang diberikan padanya dan tak lama setelahnya ia mulai merasa sakit. Tangispun mewarnai pagi itu, belum lagi sikap manjanya yang tiba-tiba muncul, membuat orang rumah "kaget", hahaha 😅. Walhasil, seharian papanya gak keluar rumah karena harus memenuhi segala keinginan Wahyu.
Syukurlah sikap manja itu hanya ada di hari pertama, di hari-hari berikutnya ia sudah bisa mandiri. Naik turun ranjang sudah bisa dilakukannya sendiri, jalan dari kamar ke ruangan lain dalam rumah juga sudah ia lakukan sendiri hanya pipis ke kamar mandi saja yang ditemani.
Hari pun berlalu. 2 hari setelah disunat, perban lukanya dibuka dan bertepatan dengan itu, rasa mulas tanda melahirkan mulai saya rasakan. Ya, 2 hari setelah disunat, dengan berat hati saya dan suami harus meninggalkan Wahyu di rumah mertua karena saya memutuskan melahirkan anak kedua di tempat mama yang jaraknya kurang lebih 9 KM dari rumah mertua (rumah mama dan rumah mertua berada di kecamatan yang berbeda).
Kini, 12 hari berlalu dan lukanya sudah sembuh. Wahyu sudah bisa beraktivitas seperti biasanya namun sampai hari ini ia masih tinggal bersama mertua. 2 hari sekali papanya datang menjemputnya dan kemudian membawanya ke Lombe untuk bertemu saya dan adiknya.
Lega rasanya sudah melaksanakan salah satu kewajiban kami sebagai orang tua yaitu mengkhitan anak. Kini Wahyu gak perlu malu lagi memberikan jawaban saat ditanya apakah sudah sunat atau belum oleh guru ngaji atau teman-temannya.
Adakah yang juga punya pengalaman anaknya disunat? Yuk, bagi ceritanya di kolom komentar 😉